08 November 2012

Kata-Kata Terakhir Dari Seorang Guru


Guru itu pamanku, aku tak mengerti kenapa aku harus masuk ke sekolah ditempat pamanku bekerja. Ayah yang memaksaku untuk masuk kesekolah swasta tempat paman bekerja. Katanya agar mudah mengawasi dan mengontrol pendidikanku.

Menurutku aku tidak termasuk anak nakal atau anak badung, ya walau terkadang aku lupa mengerjakan tugas rumah yang diberikan. Nilai-nilaiku pun termasuk kategori lumayan, gak jelek tapi gak juga bagus sih. Yang aku tau seharusnya aku bisa masuk sekolah negeri dengan nilai seperti ini.

Sejujurnya aku malu jika teman-teman disekolahku mengetahui guru kewarganegaraan yang sedang mengajar ini adalah pamanku. Kondisi Pak Herman sudah sangat jauh dari kata sehat, karena Pak Herman menderita diabetes atau bisa disebut kencing manis sudah 5 tahun ini. Pandangan mata Pak Herman sudah kabur, bahkan mungkin dapat dikatakan sedikit lagi buta.

Tadi pagi sebelum masuk kelas saja Pak Herman berjalan dengan meraba-raba dinding sekolah mencari pintu masuk. Murid-murid yang sekelas denganku memperhatikan dengan wajah sedih sebagian mangacuhkannya termasuk aku. 

Pada saat pelajaran dimulai Pak Herman menjelaskan tentang nasionalisme bangsa yang sudah terkikis. Dipertengahan jam pelajaran beberapa teman keluar masuk kelas seenaknya perutnya saja. Aku yang sudah merasa bosan pun mengikuti beberapa teman untuk keluar menuju kantin.

Setiap Pak Herman masuk kelas aku sering pergi ke kantin, hingga yang tersisa dikelas kurang dari setengah jumlah siswa kelasku. Meskipun penglihatan Pak Herman sudah kabur, beliau sebenarnya tetap mengetahui apa saja yang dilakukan muridnya didalam kelas. Tapi beliau tetap bersabar menerima perlakuan seperti itu dari murid-murid yang di sayanginnya.

Hingga suatu hari Pak Herman tidak masuk kelas seperti biasa. Seisi kelas bertanya-tanya kepadaku, kemanakah Pak Herman yang selama ini rajin masuk. Walaupun aku keponakannya, aku juga tidak mengetahui keberadaan Pak Herman hari itu. Saat tiba dirumah aku dikejutkan dengan kabar pamanku masuk rumah sakit. Keadaannya sangat drop hingga paman pingsan dikamar mandi pagi tadi saat bersiap-siap untuk mengajar.

Malam itu aku beserta ayah dan bunda segera menjenguk paman dirumah sakit umum daerah. Kulihat tubuh yang kini terbaring lemah itu tetap menyunggingkan senyuman tulus dari bibirnya yang pucat ketika mengetahui kehadiran kami.  Sungguh pemandangan yang menyayat hati, apalagi saat ingat semua tingkahku disekolah terhadap paman. 

Karena rasa bersalah itulah aku memutuskan untuk minta izin menemani paman di rumah sakit malam itu. Keesokan harinya beberapa guru dan perwakilan siswa datang membesuk paman. Betapa bahagianya paman melihat murid-muridnya dan rekan kerjanya datang menunjukkan kepedulian mereka. Setelah seminggu dirawat kondisi paman mulai membaik jadi paman sudah diperbolehkan pulang.

Esoknya paman sudah bersiap untuk berangkat mengajar seperti biasa. Paman tidak mau disuruh beristirahat dirumah, katanya sudah rindu dengan murid-murid disekolah. Mulai hari ini aku berjanji tidak akan mengacuhkan paman lagi disekolah.

Dan seperti biasa Pak Herman memasuki kelas dengan meraba-raba dinding sekolah. Beda ketika mendekati sekelas dengan segera aku menuntun langkah Pak Herman hingga sampai di meja guru. Teman-teman yang selama ini sering di kantin bersamaku melihat dengan terheran-heran. Sebagian melihat dengan ekspresi mengejek, sebagian lagi dengan ekspresi penuh tanda tanya.

Ketika jam istirahat teman-teman yang tadi bertanya-tanya sendiri kini langsung menanyaiku ada apa gerangan dengan sikapku tadi. Kini aku tidak lagi malu menyatakan Pak Herman adalah pamanku, kakak laki-laki pertama ibuku.

Aku tidak pernah menceritakan secara jelas kepada teman-teman tentang penderitaan paman. Karena paman gak mau murid-muridnya memandangnnya dengan iba, paman hanya ingin melihat murid-muridnya sukses dan tersenyum ceria setiap harinya. Paman dikenal sebagai Pak Herman guru kewarganegaraan kami yang begitu mencintai pekerjaannya yang mulai tersebut. Sebagai guru Pak Herman tak pernah dan tak kan mau mengeluhkan kondisinya dihadapan murid-muridnya. Pak Herman hanya memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang kuat.

Hingga suatu hari aku dibangunkan dengan mimpi buruk. Kondisi paman kembali drop, keadaan paman sudah tidak sadarkan diri. Berhari-hari aku menemani tante dirumah sakit menjaga paman yang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hingga suatu malam paman siuman dan Beliau berkata dengan lirih “bu (memanggil istrinya) aku ingin kembali kesekolah, aku ingin mengajar lagi. Aku cuma ingin anak-anakku disekolah bisa menjadi generasi terbaik yang dimiliki bangsa ini. Aku ingin mereka berguna bagi nusa bangsa terutama keluarga.” Setelah menyelesaikan kalimatnya paman kembali menutup matanya. Ruang kamarnya tiba-tiba menjadi haru biru oleh isak tangis tante dan keluarga yang kebetulan sedang berada di rumah sakit.

Pamanku telah pergi untuk selamanya, pamanku guruku pahlawanku.

Selamat jalan Pak Herman, terimakasih atas cinta kasihmu selama ini untuk kami murid-muridmu. Ilmu yang engkau berikan pasti akan berguna bagi kami kini maupun nanti.

sumber foto : http://yudisupriadisangpengabdi.blogspot.com/2011/09/menjadi-guru-adalah-pilihan-yang-berani.html

No comments:

Post a Comment

Ayo Berbagi Indahnya Hidup